Selasa, 19 Agustus 2008

Ada Apa dengan Tarif PPn.BM?

Dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (RUU PPN dan PPn.BM) yang telah diserahkan sejak 31 Agustus 2005 kepada DPR, Pemerintah mengusulkan kenaikan tarif PPn.BM dari yang semula maksimum 75% menjadi maksimum 200%. Menjelang pembahasannya di bulan Agustus ini, issue kenaikan tarif ini kembali mencuat dan menjadi polemik di berbagai media massa.

PPn.BM merupakan pajak tambahan yang dipungut atas konsumsi suatu barang (mewah) di samping Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Artinya, apabila atas suatu barang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, maka PPn.BM juga tidak akan dikenakan atas barang tersebut. Sebaliknya, tidak terhadap semua barang yang dipungut PPN otomatis juga terutang PPn.BM. Hanya terhadap konsumsi barang-barang yang tergolong mewah saja yang dipungut PPn.BM.

Untuk dapat digolongkan sebagai barang mewah, ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi (sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Undang-Undang PPN dan PPn.BM), yaitu barang-barang tersebut tidak termasuk barang-barang kebutuhan pokok, atau barang-barang tersebut dikonsumsi oleh golongan masyarakat tertentu, atau pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi, atau barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status, atau apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.

Peranan PPn.BM

Agar diperoleh gambaran yang berimbang, mari kita lihat terlebih dahulu peranan PPn.BM bagi pihak-pihak yang berkaitan dalam pemungutan PPn.BM, yaitu negara, konsumen, dan produsen (pabrikan). Di pihak negara terdapat Departemen Keuangan (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak) sebagai pengumpul pendapatan negara, Departemen Perindustrian sebagai pembina produsen, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai pembina tenaga kerja, dan departemen-departemen lain yang mungkin berkaitan. Pihak konsumen sangat beraneka ragam, dari yang kaya hingga miskin, dan dari yang suka bermewah-mewah hingga yang hidup sederhana. Sementara itu, di pihak produsen terdapat produsen dari barang yang sangat mewah sampai dengan produsen barang yang tidak mewah.

Ada beberapa peran yang diemban jenis pajak ini dari sisi kepentingan negara. Pertama, dengan mengenakan PPn.BM, Pemerintah berharap dapat mengendalikan pola konsumsi – produksi masyarakat akan barang yang tergolong mewah dan secara tidak langsung juga konsumsi barang yang tidak mewah. Kedua, Pemerintah juga bermaksud dapat menyeimbangkan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi. Terakhir, dengan adanya pungutan PPn.BM, negara bisa menambah pundi-pundi APBN yang tentunya akan digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan.


Sementara itu, bagi konsumen, peranan PPn.BM (bersama PPN) adalah untuk membentuk pola dan prioritas konsumsi dari barang yang paling mewah sampai dengan yang tidak mewah. Pengenaan PPn.BM juga memberikan nuansa lain antara mengkonsumsi barang biasa dan mengkonsumsi barang mewah. Dengan membayar PPn.BM yang merupakan pajak tambahan di samping Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas konsumsi suatu barang, konsumen dapat merasakan ada sesuatu yang lain, jika dibandingkan dengan mengkonsumsi barang biasa (tanpa dipungut PPn.BM). Dengan adanya tarif PPn.BM yang baru, konsumen akan perlu mengatur kembali, baik jumlah maupun komposisi dari konsumsinya.


Demikian juga di pihak produsen, menghasilkan barang yang terkena pungutan PPn.BM akan berbeda dengan memproduksi barang biasa. Produsen perlu mengantisipasi tarif yang akan dikenakan dan harga akhir dari produknya untuk menentukan pilihan produk mana yang akan diproduksinya. Di samping itu, berapa jumlah produk yang diproduksinya juga terpengaruh oleh harga akhir (termasuk PPn.BM) dan daya beli dari konsumen.


Berdasarkan tinjauan dari ketiga sisi tersebut, tugas utama PPn.BM adalah untuk mencitrakan bahwa barang itu mewah, konsumsinya mewah, dan konsumennya pun mewah. Dengan demikian, dengan dikenakannya PPn.BM, kesan mewah benar-benar terasa. Selanjutnya, terserah pada konsumen dan produsen untuk menterjemahkan dan menyikapi PPn.BM ini dalam pengambilan keputusannya.


Apa yang harus dilakukan Pemerintah?


Setelah kita tahu peranan PPn.BM di atas, maka tugas pemerintah adalah mempertemukan berbagai kepentingan, baik kepentingan negara, konsumen, maupun produsen. Bagi negara, kepentingan penerimaan negara juga harus tercukupi, sedangkan bagi konsumen, kepuasan mengkonsumsi suatu barang dan juga barang lainnya (di luar barang yang terkena PPn.BM) harus tetap terpenuhi. Artinya, kepuasan untuk mengkonsumsi tidak terganggu oleh pungutan pajak yang tinggi. Sementara itu, bagi produsen, penarikan jenis pajak ini tidak akan mengganggu iklim produksi – distribusi mereka.


Tugas pemerintah berikutnya adalah menginventarisasikan barang-barang yang tergolong mewah. Harus dipilah mana barang yang mewah dengan berbagai tingkat kemewahannya dan mana yang tidak mewah. Dari hasil inventarisasi tersebut, kemudian ditentukan kelompok-kelompok barang beserta besaran tarif PPn.BM yang akan dikenakan, sedangkan terhadap barang di luar kelompok tersebut hanya dibebani PPN.


Akhirnya, Pemerintah harus dapat memberikan kepastian bahwa tarif yang sudah ditetapkan dan diberlakukan terhadap barang tertentu adalah pas, dapat diprediksi, dan tidak akan naik dikemudian hari. Mengapa tidak boleh naik? Hal ini karena derajat kemewahan suatu barang akan cenderung bergerak dari sangat mewah, mewah, hingga menjadi tidak mewah. Oleh karena itu, tarif PPn.BM terhadap suatu barang (barang yang sama) makin lama mestinya makin turun dan tidak boleh naik.


Hal-hal tersebut di atas perlu dipertegas dan dikomunikasikan oleh Pemerintah agar tidak mengganggu iklim investasi, produksi, dan ekonomi pada umumnya.


Kesimpulan


Direktur Jenderal Pajak, Darmin Nasution, sudah menegaskan di media massa bahwa usulan tarif PPn.BM tertinggi 200% tidak secara otomatis akan diterapkan pada saat berlakunya UU PPN dan PPn.BM. Tarif tersebut hanya dipasang untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan di masa mendatang akan muncul suatu produk yang tergolong sangat mewah yang perlu dikendalikan konsumsinya, sehingga memerlukan tarif yang sangat tinggi hingga 200%.


Selanjutnya, pernyataan Dirjen Pajak tersebut perlu dipertegas dan diwujudkan untuk menjiwai penyusunan Peraturan Pemerintah beserta peraturan-peraturan di bawahnya, sehingga tetap selaras dengan janji Darmin Nasution. Usulan tarif tersebut jangan hanya memandang dari sisi kepentingan penerimaan negara, tetapi yang harus perlu dijaga dan diperhatikan adalah usulan tarif tersebut jangan sampai mengganggu iklim berkonsumsi masyarakat dan iklim berproduksi produsen yang pada akhirnya malahan menjadi kontra-produktif.


Penulis:

Saliphasta S. (Dosen Magister Akuntansi Trisakti) dan I Nyoman Widia (Kaprodi Akuntansi STIE Tunas Nusantara)
Tulisan ini sudah dimuat pada Harian Kontan Jumat, 15 Agustus 2008 halaman 23.